Dari sejarah dunia kita juga tahu, orang-orang negro di Afrika ,
orang-orang Indian di Amerika ditangkap dan dijual di pasar budak dan
dipekerjakan di perkebunan dan tambang-tambang ; orang Jawa dijual ke Aceh oleh
Belanda dll. Orang-orang yang kalah perang ditangkap dan / atau
dijual serta dimiliki pemenangnya sebagai “budak – harta milik”. Manusia
dianggap sebagai “barang dagangan”. Ini sungguh-sungguh bertentangan dengan
martabatnya sebagai manusia yang se-citra dengan Allah. Ini bertentangan dengan
HAM.
Di jaman sekarang perbudakan semacam itu masih ada, dengan modus operandi
yang berbeda, bahkan berkembang tak terkendali karena mempunyai teknik dan
strategi yang canggih, yang melibatkan mata rantai jaringan, mulai dari big
boss God Father-nya sampai ke ujung tombak perekrut lokal perdagangan
manusia di desa-desa terpencil. Jaringan
kerja mereka bagaikan mafia yang sulit diurai karena para pelakunya bersepakat
untuk merahasiakan dengan menutup mulut mata rantainya dengan uang, dan bahkan
menutup mulut mereka dengan ancaman, seperti yang terjadi dalam perdagangan
narkoba. Bisnis ini secara internasional menangguk keuntungan sangat besar,
lebih besar dari perdagangan senjata.
Perdagangan manusia ini berkembang pesat dengan adanya sistem pasar bebas
di dunia (WTO). Indonesia di jaman Suharto ikut menandatangani sistem
pasar bebas ini. Konsekuensinya adalah semua negara yang menandatangani pasar
bebas wajib membuka negaranya untuk perdagangan apa pun dengan negara lain : baik
perdagangan barang maupun perdagangan “jasa”. Akibatnya kita melihat sekarang
ada : Rumah Sakit Internasional, Rumah Sakit Asing, Sekolah Internasional,
Bank-Bank Asing, Perusahaan-Perusahaan Multinasional sampai ke sektor retil :
KFC, McDonald, Carefour dll….., Konsultan Asing, Dokter Praktek Asing dll .... Kini banyak orang asing mencari nafkah di
negara Indoseia yang kaya, namun yang belum bisa mengelola kekayaannya sendiri,
contoh : Freeport.
Sebaliknya, orang Indonesia pun
diijinkan “menjual” jasanya kepada negara lain. Maka banyak orang Indonesia
yang mencari pekerjaan di negara lain entah sebagai perawat, teknisi mesin,
teknisi kapal terbang, tukang bangunan, dsb. Namun sayang seribu sayang …
kebanyakan pencari kerja bangsa kita di negara asing adalah para buruh yang
kurang / tidak berpendidikan, yang hanya lulusan SD , SMP dan bahkan banyak yang
buta buruh. Mereka hanya bisa menawarkan “jasa otot” mereka. Dan para buruh
“otot” murah inilah yang banyak diminati perusahaan besar di negara asing yang
kaya di sana, untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, kuli
pelabuhan, kuli bangunan, PRT dll,
karena upah mereka murah. Perusahaan
kaya di negara kaya, berusaha untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, maka
mereka mencari buruh murah dari Indonesia dan negara miskin lainnya, daripada harus
membayar buruh dari negaranya sendiri yang “lebih mahal” bayarannya. Lama
kelamaan permintaan akan perekrutan buruh murah ini semakin tinggi, khususnya
pekerja perempuan yang dibutuhkan untuk bekerja di sektor domestik / rumah
tangga.
Para buruh yang kurang berpendidikan ini tidak tahu cara bermigrasi dengan
benar. Mereka buta akan urusan dokumen - dokumen yang dibutuhkan untuk
bermigrasi : paspor ( berikut persyaratan untuk memperolehnya, misalnya KTP,
KK, Akte Kelahiran ) , visa kerja, ticket perjalanan, bahasa negara tujuan dll.
Mereka juga buta akan pentingnya kontrak kerja, jenis pekerjaan apa yang akan
dilakukan, alamat di mana mereka akan bekerja dll. Yang penting bagi mereka
adalah : bisa memperoleh nafkah ! Tak peduli di mana, di sektor apa ! Tak
peduli berapa gajinya ! Mereka percaya saja ! Hal ini memunculkan “celah” bagi “orang
kreatif” untuk membuka “kantor jasa” penyalur tenaga kerja untuk membantu
kesulitan para calon TKI. Mereka memperoleh lapangan kerja untuk mencari
nafkah. Dengan ijin Depnaker mereka bisa
membuka kantor penyalur tenaga kerja atau PJTKI. Ada peraturan yang harus
mereka taati sebagai PJTKI, misalnya :
-
Harus
terdaftar resmi di Depnaker
-
Harus
memberi latihan ketrampilan kerja kepada para calon TKI untuk bekerja sesuai dengan
permintaan pencari jasa : PRT, baby-sitter,
pramurukti dll.
-
Harus
memberikan kursus bahasa asing kepada calon TKI sesuai dengan negara tujuan.
-
Hanya boleh merekrut calon TKI jika ada permintaan
resmi dari perusahaan negara tersebut
-
Dll …
-
Namun …… pada implementasinya,
banyak PJTKI yang tidak memberikan pelatihan yang diwajibkan, dan para calon
TKI hanya dianggap sebagai “sumber penghasilan”. Mereka dibebani banyak beaya
untuk mengurus berbagai dokumen : KTP, KK, Akte Kelahiran, Paspor, Visa, beaya
pelatihan, beaya penampungan dll. Mereka
ditampung di tempat penampungan sambil diberi pelatihan. Dan karena pesanan
tenaga dari LN belum ada ( ini melanggar peraturan Depnaker ! ), mereka
dikurung di penampungan itu agar bisa segera dikirim ke pasar kerja begitu ada
pesanan masuk. Semuanya itu bukannya bebas ongkos. Mereka harus membayar
seluruh beaya hidup di penampungan, dan jika mereka tidak bisa membayarnya,
mereka ditalangi dulu - yang dianggap sebagai ”hutang yang berbunga”. Di sinilah mereka mulai “dijerat dengan
hutang”, yang harus dibayar melalui “potong gaji”. Maka banyak TKI yang pada 3 bulan - 6 bulan
pertama, atau satu tahun pertamanya tidak menerima gaji sama sekali atau
dipotong gajinya untuk membayar hutang.
Karena dari LN semakin banyak permintaan pekerja sektor buruh domestik,
maka semakin banyak pula perempuan yang direkrut : promosi kerja di luar negri
pun semakin marak. Para penyalur tenaga kerja beramai-ramai memasang pamflet
yang menarik untuk merekrut pekerja perempuan, dengan janji-janji yang indah :
gaji besar, bekerja ringan.
Dari pihak lain, kemiskinan
mendera rakyat kita. Siapa yang
tidak tergiur dengan janji-janji itu ? Mereka butuh nafkah. Mereka membutuhkan
kehidupan yang lebih layak. Maka para perempuan pun berbondong-bondong mencari
pekerjaan di sektor yang dikenal sebagai TKW ini, dengan tujuan : membangun
masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarganya.
Tidak jarang perempuan muda pun melamar pekerjaan di sektor ini, walau
masih di bawah umur 18 tahun, umur minimal untuk bermigrasi sesuai dengan
peraturan pemerintah. Namun kita semua tahu, peraturan pemerintah kita ini
lemah, mudah dilanggar dengan berbagai cara : suap, umur dipalsukan dsb. Juga banyak terjadi, anak
di bawah umur melamar sebagai TKW di kota lain yang bukan kota / desa
kelahirannya, dan dengan mudah namanya dipalsukan, umur dipalsukan, nama orang
tua dipalsukan – diikutsertakan pada KK orang lain, dan bahkan alamatnya pun dipalsukan
oleh penyalur tenaga kerja. Maka tidak jarang terjadi, ada TKW yang tidak
pernah kembali - hilang entah kemana, mayat orang pun bisa berkeliling mencari
alamatnya ke sana kemari karena alamat yang disebut tidak cocok dengan data
orangnya dll. Pemalsuan data ini menjadi awal bencana bagi TKW, karena mereka
sulit dilacak di mana keberadaanya.
Di dunia kita sekarang ini, juga ada banyak permintaan untuk memperoleh
perempuan yang dipekerjakan pada sex industri, yang bekerjasama dengan industri
pariwisata. Siapa yang berani dengan terang-terangan membuka lowongan kerja
macam ini ?! Banyak terjadi para TKW yang bermaksud mencari pekerjaan halal
demi masa depan keluarganya, di tengah jalan “dijual” sebagai PSK untuk mengisi
lowongan tersebut. Mereka terlalu polos, terlalu lugu, terlalu percaya akan
kebaikan hati orang yang mencarikan pekerjaan untuk mereka. Saking percayanya,
mereka tidak membuat kontrak kerja, tidak bertanya dulu di mana alamat tempat
kerjanya, sebagaimana juga sepenuhnya mempercayakan pembuatan paspor dan
visanya kepada penyalur. Bahkan mereka tidak tahu bahwa visa yang harus
dimilikinya adalah visa kerja, bukan visa tour. Mereka buta akan jenis-jenis
visa semacam itu. Mereka pasrah bongkokan saja ! Di kemudian hari mucullah
masalah legalitas visa yang akan membuat mereka menjadi pekerja ilegal, dan
selanjutnya menjadi buron polisi karenanya. Bahkan sangat sering terjadi,
paspor pun dipegang oleh majikannya,dengan dalih agar pekerjanya tidak
melarikan diri. Ini adalah pelanggaran hak pekerja. Paspor dan KTP adalah hak
si pemilik dan harus melekat - dipegang oleh pemiliknya sendiri. Tanpa paspor di tangannya,
pekerja dianggap sebagai “milik” majikannya, nasibnya sangat bergantung pada
majikannya.
Mata rantai perdagangan ini sungguh rumit dan ruwet dan tidak kasat mata, bisa
bermula dari penyalur legal di kota kecamatan atau kabupaten, lalu berpindah ke
penyalur lain di kota besar yang entah legal atau tidak, lalu bisa berpindah
lagi ke penyalur lain di LN. Karena seringnya berpindah tangan penyalur, maka
keberadaan TKW sulit dilacak juga.
Sering terjadi, mereka yang masih perawan dan muda, dipermak di salon
sampai siap saji, diberi pakaian yang “mengundang” dan dijual sebagai foto
model seronok, atau sebagai bintang film porno, yang harus melakukan
adegan-adegan hubungan sex yang laku dijual di pasaran, atau dijual di hotel
dengan transaksi pembayaran yang sangat tinggi, dengan perhitungan : mereka
masih perawan dan masih bebas dari aids dan penyakit sex lainnya. Bisa juga dijual
di cafe-cafe dan diskotik. Mereka sudah dijerat hutang sebelumnya, maka mereka
harus melakukan pekerjaan itu. Kalau tidak mau mengerjakannya, lalu mereka
dikurung tanpa diberi makan dan dianiaya. Setelah kelaparan, akhirnya mereka
terpaksa mau juga .... !! Sesudah lama dipakai di tingkat hotel berbintang ...
lama kelamaan dipakai di hotel yang semakin rendah kelasnya, lalu di hotel
murahan ... demikian terus melorot dan diobral ke tingkatan lokalisasi murahan
sesuai dengan “kondisi tubuh” mereka. Jadi, yang menjadi ukuran di sini adalah
“tubuh” mereka. Seolah mereka hanyalah seonggok daging yang disantap, dan
disingkirkan ketika tidak mengundang selera lagi.
Siapakah pelaku perdagangan manusia ini ?
- Sesuai dengan Protocol Palermo tahun 2000, dan UU PTPPO tahun 2007 ( ratifikasi dari protocol Palermo oleh RI ), pelaku perdagangan manusia adalah mereka yang merekrut, memindahkan, menampung atau menerima seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, penggunaan kekuasaan terhadap posisi rentan, memberi / menerima pembayaran /agar memperoleh persetujuan dari seseorang untuk berkuasa atas orang lain dengan tujuan “exploitasi”.
- Eksploitasi = melacurkan orang lain, bentuk-bentuk lain eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.
Di lapangan, pelaku
perdagangan manusia ini bisa :
- RT / RW atau Lurah Desa : yang memalsukan data orang.
- Ayah, ibu, paman, bibi, teman, tetangga dan bahkan suami yang menyerahkan perempuan itu untuk bekerja tanpa meneliti kebenaran tawaran kerjanya.
- Kantor imigrasi yang bekerjasama untuk memalsukan paspor.
- Penyalur tenaga kerja yang tidak mentaati peraturan Depnaker.
- Depnaker yang berkolusi dengan penyalur tenaga kerja.
- Polisi yang melindungi pelaku.
- Dll ........
Secara klasik pelaku
perdagangan manusia ini bisa :
- Ayah / ibu yang memanfaatkan posisi rentan anak perempuannya untuk membayar hutangnya, dengan menikahkan dia kepada si pemberi piutang ( Siti Nurbaya ). Anak merasa wajib membantu orang tuanya. Di jaman ini masih banyak Siti Nurbaya yang lain.
- Laki-laki yang membayar mas kawin sebelum pernikahan, yang membuat perempuan berada dalam posisi rentan sebagai “milik suami”, maka bisa diperlakukan sekehendak hati.
Kasus-kasus perdagangan manusia :
- Pengantin pesanan ( Kalimantan Barat – Taiwan )
- Penjualan bayi
- Penculikan anak baik laki-laki maupun perempuan ( di play station, di depan sekolah ) untuk pasar prostitusi, pasar paedofil, dipekerjakan sebagai pengamen jalanan, untuk dipekerjakan di jermal, diambil organ tubuhnya.
- Penipuan : janji pekerjaan halal dengan gaji bagus, pada akhirnya dimanfaatkan untuk PSK
- Pekerja ditempatkan berpindah-pindah ke negara yang tidak dikenal bahasanya
- Penyelundupan orang : Nunukan, Tebedu, Entikong, Batam.
- Duta-duta kesenian , duta wisata dan kebudayaan.
- Kakak kelas menjual adik kelas
- Kredit HP dan pulsa yang harus dibayar dengan keperawanannya.
- Kasus orang yang terpelajar yang juga “terjual”.
- Trafficking dalam gereja
Dari segi kerentanan budaya kita :
- Budaya patriarki : istri dan anak di bawah kuasa ayah.
- Aib jika perempuan ternoda (walau bukan kesalahannya), mereka diasingkan dan disingkirkan oleh masyarakat. Maka perempuan memilih bungkam ! Lalu... membiarkan pemerkosanya berkeliaran ?!
- Laki-laki bebas tanpa sangsi.
- Perawan tua juga menjadi predikat yang menakutkan karena dianggap “tidak laku”.
- “Janda” adalah predikat yang menakutkan bagi perempuan, karena .....
- “Single mother” dicibirkan – dilecehkan masyarakat, padahal mereka “pro life” sesuai dengan ajaran gereja, dia berjuang mengatasi segala tekanan derita.
- Perempuan dianggap sebagai pihak yang “mengundang dosa”, maka cara berpakaiannya pun diatur-atur ; keluar rumah diatur-atur dll .....
- Bangga bila bisa pergi ke LN, pulang bawa banyak oleh-oleh. Setengah tahun atau kurang dari itu di rumah uang habis, pergi ke LN lagi.
Dari segi teknologi modern :
- Banyak anak muda direkrut melalui internet, facebook dst....
- Tawaran dunia yang semakin menggiurkan melalui reklame TV, internet dll.
- Tayangan internet yang bisa diakses melalui HP.
Mengapa semua itu bisa terjadi ?
Wonosobo 22 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar