“…Dalam era globalisasi, banyak orang migrasi ke tempat lain untuk
mencari kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi ini telah
menyebabkan
peningkatan jumlah perdagangan perempuan dan anak-anak…”
Suster Antonie Ardatin, PMY, koordinator
CWTC,
Workshop oleh FPPA bersama IBSI dan Ikatan Kerjasama Kongregasi Religius
di Belu)
“ Saya
sudah dua kali ini bekerja di luar, terakhir kemarin di Sumatera , tapi cuman
satu tahun…” ,
Hech….sambil
menghela napas panjang aku mendengarkan cerita mereka...
Dua
kali….ya mengapa sampai terjadi dua kali mereka tertipu untuk bekerja di luar
daerah mereka dengan resiko yang tidak sepadan dengan nyawa mereka.
Itulah
salah satu pembicaraan saya dengan mereka yang diduga sebagai korban praktik
perdagangan manusia di dalam negeri. Hal itu terjadi saat pendampingan terhadap
sekitar 16 perempuan dari 35 orang yang
tertipu oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab yang berasal dari daerah Maumere dan akan menuju
Kalimantan, ada yang
pergi bersama keluarga (anak, istri), ada yang bujangan. Memang, di dalam
daftar nama tertulis nama-nama laki-laki dan perempuan, lengkap dengan status
mereka: suami, istri atau anak.
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan diketahui bahwa hanya 2
orang yang benar-benar sudah beristri dan istri, sementara ada satu orang ibu yang sudah bersuami dan
suaminya sudah di
Kalimantan.
Ada
juga salah satu dari mereka yang tidak lulus SMK dan dijanjikan bekerja di
Kalimantan dengan gaji satu juta rupiah… Belum
lagi kejanggalan kejanggalan dalam beberapa dokumen yang diketemukan, misalnya
saja surat pernikahan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau surat kontrak atau
perjanjian kerja antara mereka dan pihak yang mengaku dari perusahaan yang
katanya akan mempekerjakan mereka di Kalimantan nanti sedangkan ternyata si
pelaku tidak mempunyai hubungan apapun dengan pihak perusahaan ( Tidak punya
perusahaan yang berbadan hukum untuk menjalankan fungsi rekrutmen ).
Yang
lebih mencengangkan lagi, ada informasi bahwa setiba mereka
nanti di Kalimantan ada kemungkinan bahwa yang laki-laki akan bekerja sebagai
pekerja di perkebunan kelapa sawit sementara nona-nona akan dijadikan PSK
(Pekerja Seks Komersial).
Dan memang pada akhir dari rantai perdagangan
manusia pada umumnya adalah perdagangan prostitusi. Sudah banyak kasus dan
berita yang ada di masyarakat perempuan dan remaja putri yang dijual oleh agen
agen perekrut perdagangan manusia, malah tidak jarang pula teman, tetangga,
sahabat dekat,saudara bahkan orang tuapun menjadi pelaku. Dalam kasus diatas,
salah satu saudara dari mereka adalah yang menjadi agen perekrut. Namun ada
beberapa daerah di Indonesia dimana kebiasaan merantau sudah menjadi budaya
bahkan telah berakar menjadi suatu adat kebiasaan. Dan parahnya, mereka belum
mengetahui tata cara bermigrasi yang aman dan benar.
Seperti yang pernah diutarakan Suster Lia RGS dalam
Pertemuan Forum Masyarakat Manggarai di Jakarta beberapa waktu lalu merantau adalah sebuah kebiasaan
yang banyak dilakukan oleh masyarakat NTT baik perempuan dan laki-laki untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak
ratusan tahun sehingga tidak sedikit orang NTT yang menetap di berbagai tempat.
Masyarakat Manggarai adalah salah satu dari masyarakat NTT yang juga memiliki kebiasaan
merantau. Di saat ini kebiasaan merantau menjadi sebuah momok bagi masyarakat
Manggarai karena mereka yang merantau kebanyakan ingin mendapatkan penghidupan
yang baik namun tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang diperlukan di
daerah perantauan. Tidak sedikit masyarakat manggarai yang terjebak dalam tipu
daya orang yang menjadi agen perekrut tenaga kerja dan berakhir menjadi korban
penjualan orang.
Human
Trafficking atau yang saat ini lebih dikenal dengan Modern Slavery atau
Perbudakan modern, adalah salah satu dari tiga kejahatan transnasional terbesar
( perdagangan Obat obatan, Perdagangan Senjata dan Perdagangan Manusia ).
Dengan keuntungan yang diperkirakan mencapai 7 - 10 Miliar Dolar Per Tahun dari
Perdagangan Orang di seluruh dunia,
Modern Slavery merupakan salah satu kejahatan yang tidak bisa dipandang dengan
sebelah mata. Seperti halnya perdagangan narkoba, perdagangan manusia
sepertinya tidak hanya membunuh hidup seseorang tapi sudah membunuh suatu
rantai kehidupan. Coba simak pendampingan yang pernah kami lakukan seperti yang
diceritakan diatas, seandainya satu orang telah terjebak dalam rantai
perdagangan manusia dan dia adalah tulang punggung perekonomian di keluarganya
, berapa orang yang secara tidak langsung akan mengalami efek dari perdagangan
manusia itu sendiri. Anak menjadi terlantar, tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak
mendapatkan kasih sayang dari orang tua, bahkan tidak jarang pula suami atau
istri yang ditinggalkan menikah lagi. Dan masih banyak akibat yang diderita
oleh korban. Belum lagi seandainya si korban mengalami siksaan fisik.
Memang,
ancaman terbesar perdagangan manusia yang dihadapi pria dan wanita
Indonesia adalah merupakan tenaga kerja
karena ‘terpaksa’ dan lilitan hutang.
Janji untuk
memperoleh pekerjaan dengan gaji tinggi, jeratan Utang , kawin kontrak adalah
salah satu dari sekian banyak modus penipuan dari mereka para pelaku
perdagangan manusia. Modus yang paling banyak
ditemukan adalah model jeratan utang, dimana cukong ini memberikan utang kepada
pihak keluarga dan ketika mereka tak mampu membayar maka mereka menawarkan
untuk mengambil anak mereka sebagai tebusan selain itu saat ini banyak modus dengan
menyalahgunaan kesempatan
dalam kegiatan resmi misalnya :
• Duta seni / budaya / kontes
kecantikan.
• Mencarikan pekerjaan yang menarik
dengan gaji menggiurkan.
• Pendidikan / pemagangan kerja.
• Pertukaran pelajar / pemuda.
• Perjalanan “religius”.
• Pencarian model / bintang film / artis.
• Mencari pengantin.
• Pengangkatan anak.
Penyebab perdagangan orang
kebanyakan terjadi karena jeratan utang, faktor pendidikan yang rendah dan
ekonomi ( Kemiskinan ), akses terhadap informasi yang sangat kurang, perempuan tidak
dihargai atau dianggap barang, anak dianggap sebagai budak, pendidikan
dan keterampilan rendah, perilaku dari sebagian masyarakat yang cenderung
konsumtif dan modis ( Biasanya menimpa para remaja putri yang terpikat oleh
iklan yang bersifat konsumsit), pernikahan dan perceraian usia dini dan
masyarakat yang tidak peduli dan kurangnya informasi tentang perdagangan orang.
Berbagai penyebab itu, bila
diurai lebih mendalam sebagian besar terjadi pada daerah-daerah yang merupakan
kantong masyarakat pedalaman atau pedesaan. Terlebih lagi Perempuan dan
anak-anak, terutama mereka yang terkungkung kemiskinan menjadi komunitas yang
sangat rentan diperdagangkan. Keterjepitan mereka dengan kondisi di daerah yang
minim lapangan kerja, akses terhadap pendidikan kurang dan keberadaan ekonomi
keluarga yang serba kekurangan menjadi penyebab utama. Sementara itu, pihak
pemerintah lokal tidak memberikan perhatian secara khusus terhadap perosalan
tersebut diatas sehingga menyebabkan masyarakat harus mencari jalan sendiri
atas berbagai himpitan yang mereka alami.
Seringkali jawaban yang
paling realistis bagi mereka adalah keluar dari berbagai himpitan itu dengan
menjadi TKI atau pergi ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Kondisi
inilah yang dimanfaatkan cukong-cukong para pencari orang untuk dijual ke luar
negeri.
Adapula model jeratan utang
lain yaitu menawarkan kepada setiap orang tawaran kerja di luar negeri. Dengan
memberikan janji kerja dan penghasilan cukup lumayan, dan karena tidak memiliki
modal para cukong ini kemudian berjanji membiayai seluruh biaya ongkos
perjalanan hingga masuk di tempat kerja. Namun alhasil yang selalu ditemukan,
para cukong kemudian menjerat mereka seumur hidup dengan memotong gaji mereka
dengan dalih pembayaran utang.
Banyak diantaranya tidak
menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam lingkaran sindikat perdagangan
manusia
Bahkan tidak jarang pula saat
ini dijumpai penggunaan media internet melalui Facebook, Twitter dan jejaring
sosial lainnya sebagai sarana untuk membujuk para calon korban dan ironisnya
pula beberapa pelaku perdagangan manusia
ditengarai terus menjalin kemitraan dengan para pejabat sekolah untuk merekrut
pemuda dan pemudi dalam program kejuruan untuk kerja paksa melalui penipuan peluang "magang"( Trafficking in Persons Report 2011 ).
Seperti
juga terungkap dalam pelaporan tahunan tentang Human Trafficking oleh
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2012 ( Trafficking in Persons
Report – 2012 ) yang diluncurkan tanggal 19 Juni 2012 lalu dimana Indonesia
adalah negara sumber utama perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan,
anak-anak, dan pria dan masing-masing dari 33 provinsi di Indonesia merupakan
daerah sumber dan tujuan perdagangan manusia, dengan daerah sumber yang paling
signifikan adalah provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Banten. Jumlah korban
perdagangan asal Indonesia secara signifikan
sebenarnya lebih tinggi, diperkirakan lebih dari satu juta pekerja
ilegal di luar negeri.
PBB
melalui Deklarasi Palermo tahun 2000 menyatakan bahwa perdagangan manusia adalah
:
“…perekrutan, pengiriman, pemindahan,
menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan
cara mengancam atau
penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan
lainnya, penculikan, penipuan,
kebohongan, penyalahgunaan
kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau
penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memiliki kontrol
terhadap orang lain,
dengan tujuan-tujuan untuk
mengeksploitasi.
Eksploitasi haruslah mencakup,
pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau
bentuk- bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau
praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan
organ…”
Pelaku
trafiking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban
supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Menurut ICMC/ACIL, beberapa cara yang
dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain (ICMC/ACIL-Mimpi Yang
Terkoyak, 2005):
1.
Menahan
gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri;
2.
Menahan
paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak
leluasa karena takut ditangkap polisi;
3.
Memberitahu
korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika
mereka berusaha kabur;
4.
Mengancam
akan menyakiti korban dan/atau keluarganya;
5.
Membatasi
hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat
menolong;
6.
Membuat
korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal,
komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan
dalam “perlindungan” dari yang berw ajib; dan
7.
Memutus
hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;
Memang sungguh sangat tragis,
namun itulah kondisi yang terjadi di masyarakat.
Dan lebih memprihatinkan
lagi, saat ini ditengarai telah terjadi
pergeseran terhadap mereka yang menjadi korban korban trafiking. Mahasiswi dan
pelajar putri, merekalah saat ini yang menjadi obyek atau calon calon korban
perdagangan manusia. Banyak artikel dan berita yang beredar bahwa korban
perdagangan manusia adalah mereka yang berstatus mahasiswi dan pelajar putri.
Seperti kami sebutkan diatas bahwa media internet juga menjadi sarana untuk
membujuk si korban.
Perdagangan
Manusia adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pada dasarnya, Perdagangan
Manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas
dari semua bentuk perbudakan. Perdagangan anak-anak merusak kebutuhan dasar
seorang anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan merusak hak anak untuk
bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
Keterlibatan LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat dan media
massa (koran, majalah, TV, radio) dalam meningkatkan kepedulian masyarakat pada
masalah penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Namun perlu disadari pula bahwa
jangkauan penyebaran informasi dan sosialisasi masih perlu diperluas terutama
kepada mereka yang ada di daerah yang belum terjangkau, dan perlu ditingkatkan
intensitasnya sehingga mampu meningkatkan pemahaman dan kesadaran yang pada
gilirannya mampu merubah perilaku masyarakat yang harus tidak mentolerir
perbudakan (trafficking in persons) di jaman modern ini.
Kerjasama dalam jejaring yang telah dilakukan oleh komisi anti perdagangan
perempuan ( CWTC) merupakan salah satu contoh konkrit dari sekian banyak
jejaring yang ada saat ini.
Seperti
dalam salah satu hasil kesepakatan dan rekomendasi sarasehan alumni peserta
pelatihan Counter Women Trafficking Commission beberapa waktu yang lalu
dinyatakan bahwa membangun jejaring antar tarekat, regio dan keuskupan se
Indonesia yang telah proaktif dan aktif dalam pelayanan kepada TKI/TKW dan
korban perdagangan manusia yang dikoordinir oleh IBSI dan bekerja sama dengan KKP-PMP KWI dan
SGPP-KWI serta memberdayakan para
pekerja pastoral kemanusiaan di setiap tarekat, keuskupan di bawah koordinasi
IBSI, KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI dengan mengadakan pertemuan rutin, pelatihan dan
sarasehan, merupakan sebuah salah satu bentuk sarana aktif dalam penanggulangan
masalah ini.
Tidak ada negara yang kebal terhadap masalah perdagangan manusia khususnya
perempuan dan anak. Oleh karena itu, penguatan jejaring kerja perlu
ditingkatkan agar perdagangan terhadap perempuan dan anak Indonesia dapat
segera dihapuskan.
Penulis
:
Dadang
( Sekretaris
Eksekutif CWTC-IBSI )