Senin, 18 April 2016

PERDAGANGAN MANUSIA

“…Dalam era globalisasi, banyak orang migrasi ke tempat lain untuk
mencari kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi ini telah menyebabkan
peningkatan jumlah perdagangan perempuan dan anak-anak…”
Suster Antonie Ardatin, PMY, koordinator CWTC, 
Workshop oleh FPPA bersama IBSI dan Ikatan Kerjasama Kongregasi Religius di Belu)

“ Saya sudah dua kali ini bekerja di luar, terakhir kemarin di Sumatera , tapi cuman satu tahun…” ,
Hech….sambil menghela napas panjang aku mendengarkan cerita mereka...
Dua kali….ya mengapa sampai terjadi dua kali mereka tertipu untuk bekerja di luar daerah mereka dengan resiko yang tidak sepadan dengan nyawa mereka.
Itulah salah satu pembicaraan saya dengan mereka yang diduga sebagai korban praktik perdagangan manusia di dalam negeri. Hal itu terjadi saat pendampingan terhadap  sekitar 16 perempuan dari 35 orang yang tertipu oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab yang berasal dari daerah Maumere dan akan menuju Kalimantan, ada yang pergi bersama keluarga (anak, istri), ada yang bujangan. Memang, di dalam daftar nama tertulis nama-nama laki-laki dan perempuan, lengkap dengan status mereka: suami, istri atau anak.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa hanya 2 orang yang benar-benar sudah beristri dan istri, sementara ada satu orang ibu yang sudah bersuami dan suaminya sudah di Kalimantan.
Ada juga salah satu dari mereka yang tidak lulus SMK dan dijanjikan bekerja di Kalimantan dengan gaji satu juta rupiah… Belum lagi kejanggalan kejanggalan dalam beberapa dokumen yang diketemukan, misalnya saja surat pernikahan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau surat kontrak atau perjanjian kerja antara mereka dan pihak yang mengaku dari perusahaan yang katanya akan mempekerjakan mereka di Kalimantan nanti sedangkan ternyata si pelaku tidak mempunyai hubungan apapun dengan pihak perusahaan ( Tidak punya perusahaan yang berbadan hukum untuk menjalankan fungsi rekrutmen ).
Yang lebih mencengangkan lagi, ada informasi bahwa setiba mereka nanti di Kalimantan ada kemungkinan bahwa yang laki-laki akan bekerja sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit sementara nona-nona akan dijadikan PSK (Pekerja Seks Komersial).  Dan memang pada akhir dari rantai perdagangan manusia pada umumnya adalah perdagangan prostitusi. Sudah banyak kasus dan berita yang ada di masyarakat perempuan dan remaja putri yang dijual oleh agen agen perekrut perdagangan manusia, malah tidak jarang pula teman, tetangga, sahabat dekat,saudara bahkan orang tuapun menjadi pelaku. Dalam kasus diatas, salah satu saudara dari mereka adalah yang menjadi agen perekrut. Namun ada beberapa daerah di Indonesia dimana kebiasaan merantau sudah menjadi budaya bahkan telah berakar menjadi suatu adat kebiasaan. Dan parahnya, mereka belum mengetahui tata cara bermigrasi yang aman dan benar.
Seperti yang pernah diutarakan Suster Lia RGS dalam Pertemuan Forum Masyarakat Manggarai di Jakarta beberapa waktu lalu merantau adalah sebuah kebiasaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat NTT baik perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun sehingga tidak sedikit orang NTT yang menetap di berbagai tempat. Masyarakat Manggarai adalah salah satu dari masyarakat NTT yang juga memiliki kebiasaan merantau. Di saat ini kebiasaan merantau menjadi sebuah momok bagi masyarakat Manggarai karena mereka yang merantau kebanyakan ingin mendapatkan penghidupan yang baik namun tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang diperlukan di daerah perantauan. Tidak sedikit masyarakat manggarai yang terjebak dalam tipu daya orang yang menjadi agen perekrut tenaga kerja dan berakhir menjadi korban penjualan orang.
Human Trafficking atau yang saat ini lebih dikenal dengan Modern Slavery atau Perbudakan modern, adalah salah satu dari tiga kejahatan transnasional terbesar ( perdagangan Obat obatan, Perdagangan Senjata dan Perdagangan Manusia ). Dengan keuntungan yang diperkirakan mencapai 7 - 10 Miliar Dolar Per Tahun dari Perdagangan Orang di seluruh dunia, Modern Slavery merupakan salah satu kejahatan yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Seperti halnya perdagangan narkoba, perdagangan manusia sepertinya tidak hanya membunuh hidup seseorang tapi sudah membunuh suatu rantai kehidupan. Coba simak pendampingan yang pernah kami lakukan seperti yang diceritakan diatas, seandainya satu orang telah terjebak dalam rantai perdagangan manusia dan dia adalah tulang punggung perekonomian di keluarganya , berapa orang yang secara tidak langsung akan mengalami efek dari perdagangan manusia itu sendiri. Anak menjadi terlantar, tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua, bahkan tidak jarang pula suami atau istri yang ditinggalkan menikah lagi. Dan masih banyak akibat yang diderita oleh korban. Belum lagi seandainya si korban mengalami siksaan fisik.
Memang, ancaman terbesar perdagangan manusia yang dihadapi  pria dan wanita Indonesia  adalah merupakan tenaga kerja karena ‘terpaksa’ dan lilitan hutang.
Janji untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji tinggi, jeratan Utang , kawin kontrak adalah salah satu dari sekian banyak modus penipuan dari mereka para pelaku perdagangan manusia. Modus yang paling banyak ditemukan adalah model jeratan utang, dimana cukong ini memberikan utang kepada pihak keluarga dan ketika mereka tak mampu membayar maka mereka menawarkan untuk mengambil anak mereka sebagai tebusan selain itu saat ini banyak modus dengan menyalahgunaan kesempatan dalam kegiatan resmi misalnya :
       Duta seni / budaya / kontes kecantikan.
       Mencarikan pekerjaan yang menarik dengan gaji menggiurkan.
       Pendidikan / pemagangan kerja.
       Pertukaran pelajar / pemuda.
       Perjalanan “religius”.
       Pencarian model / bintang film / artis.
       Mencari pengantin.
       Pengangkatan anak.

    Penyebab perdagangan orang kebanyakan terjadi karena jeratan utang, faktor pendidikan yang rendah dan ekonomi ( Kemiskinan ), akses terhadap informasi yang sangat kurang, perempuan    tidak    dihargai atau dianggap barang, anak dianggap sebagai budak, pendidikan dan keterampilan rendah, perilaku dari sebagian masyarakat yang cenderung konsumtif dan modis ( Biasanya menimpa para remaja putri yang terpikat oleh iklan yang bersifat konsumsit), pernikahan dan perceraian usia dini dan masyarakat yang tidak peduli dan kurangnya informasi tentang perdagangan orang.
Berbagai penyebab itu, bila diurai lebih mendalam sebagian besar terjadi pada daerah-daerah yang merupakan kantong masyarakat pedalaman atau pedesaan. Terlebih lagi Perempuan dan anak-anak, terutama mereka yang terkungkung kemiskinan menjadi komunitas yang sangat rentan diperdagangkan. Keterjepitan mereka dengan kondisi di daerah yang minim lapangan kerja, akses terhadap pendidikan kurang dan keberadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan menjadi penyebab utama. Sementara itu, pihak pemerintah lokal tidak memberikan perhatian secara khusus terhadap perosalan tersebut diatas sehingga menyebabkan masyarakat harus mencari jalan sendiri atas berbagai himpitan yang mereka alami. 
Seringkali jawaban yang paling realistis bagi mereka adalah keluar dari berbagai himpitan itu dengan menjadi TKI atau pergi ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan cukong-cukong para pencari orang untuk dijual ke luar negeri.
Adapula model jeratan utang lain yaitu menawarkan kepada setiap orang tawaran kerja di luar negeri. Dengan memberikan janji kerja dan penghasilan cukup lumayan, dan karena tidak memiliki modal para cukong ini kemudian berjanji membiayai seluruh biaya ongkos perjalanan hingga masuk di tempat kerja. Namun alhasil yang selalu ditemukan, para cukong kemudian menjerat mereka seumur hidup dengan memotong gaji mereka dengan dalih pembayaran utang. 
Banyak diantaranya tidak menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam lingkaran sindikat perdagangan manusia
Bahkan tidak jarang pula saat ini dijumpai penggunaan media internet melalui Facebook, Twitter dan jejaring sosial lainnya sebagai sarana untuk membujuk para calon korban dan ironisnya pula beberapa pelaku perdagangan manusia ditengarai terus menjalin kemitraan dengan para pejabat sekolah untuk merekrut pemuda dan pemudi dalam program kejuruan untuk kerja paksa melalui penipuan peluang "magang"( Trafficking in Persons Report 2011 ).
Seperti juga terungkap dalam pelaporan tahunan tentang Human Trafficking oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2012 ( Trafficking in Persons Report – 2012 ) yang diluncurkan tanggal 19 Juni 2012 lalu dimana Indonesia adalah negara sumber utama perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan pria dan masing-masing dari 33 provinsi di Indonesia merupakan daerah sumber dan tujuan perdagangan manusia, dengan daerah sumber yang paling signifikan adalah  provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Banten. Jumlah korban perdagangan asal Indonesia secara signifikan  sebenarnya lebih tinggi, diperkirakan lebih dari satu juta pekerja ilegal di luar negeri.
PBB melalui Deklarasi Palermo tahun 2000 menyatakan bahwa perdagangan manusia adalah :
“…perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau  menerima  individu-individu,  dengan  cara  mengancam  atau  penggunaan  paksaan  atau bentuk-bentuk  kekerasan  lainnya,  penculikan,  penipuan,  kebohongan,  penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran  atau keuntungan  untuk mendapatkan  ijin dari seseorang untuk memiliki kontrol terhadap   orang   lain,   dengan   tujuan-tujuan   untuk   mengeksploitasi.   Eksploitasi   haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk- bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ…”
Pelaku trafiking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Menurut ICMC/ACIL, beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain (ICMC/ACIL-Mimpi Yang Terkoyak, 2005):
1.         Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri;
2.         Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi;
3.         Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur;
4.         Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya;
5.         Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong;
6.         Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berw ajib; dan
7.         Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;
Memang sungguh sangat tragis, namun itulah kondisi yang terjadi di masyarakat.
Dan lebih memprihatinkan lagi, saat ini  ditengarai telah terjadi pergeseran terhadap mereka yang menjadi korban korban trafiking. Mahasiswi dan pelajar putri, merekalah saat ini yang menjadi obyek atau calon calon korban perdagangan manusia. Banyak artikel dan berita yang beredar bahwa korban perdagangan manusia adalah mereka yang berstatus mahasiswi dan pelajar putri. Seperti kami sebutkan diatas bahwa media internet juga menjadi sarana untuk membujuk si korban.
Perdagangan Manusia adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pada dasarnya, Perdagangan Manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas dari semua bentuk perbudakan. Perdagangan anak-anak merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
Keterlibatan LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat dan media massa (koran, majalah, TV, radio) dalam meningkatkan kepedulian masyarakat pada masalah penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Namun perlu disadari pula bahwa jangkauan penyebaran informasi dan sosialisasi masih perlu diperluas terutama kepada mereka yang ada di daerah yang belum terjangkau, dan perlu ditingkatkan intensitasnya sehingga mampu meningkatkan pemahaman dan kesadaran yang pada gilirannya mampu merubah perilaku masyarakat yang harus tidak mentolerir perbudakan (trafficking in persons) di jaman modern ini.
Kerjasama dalam jejaring yang telah dilakukan oleh komisi anti perdagangan perempuan ( CWTC) merupakan salah satu contoh konkrit dari sekian banyak jejaring yang ada saat ini.
Seperti dalam salah satu hasil kesepakatan dan rekomendasi sarasehan alumni peserta pelatihan Counter Women Trafficking Commission beberapa waktu yang lalu dinyatakan bahwa membangun jejaring antar tarekat, regio dan keuskupan se Indonesia yang telah proaktif dan aktif dalam pelayanan kepada TKI/TKW dan korban perdagangan manusia yang dikoordinir oleh  IBSI dan bekerja sama dengan KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI serta  memberdayakan para pekerja pastoral kemanusiaan di setiap tarekat, keuskupan di bawah koordinasi IBSI, KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI dengan mengadakan pertemuan rutin, pelatihan dan sarasehan, merupakan sebuah salah satu bentuk sarana aktif dalam penanggulangan masalah ini.
Tidak ada negara yang kebal terhadap masalah perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak. Oleh karena itu, penguatan jejaring kerja perlu ditingkatkan agar perdagangan terhadap perempuan dan anak Indonesia dapat segera dihapuskan.

Penulis :
Dadang

( Sekretaris Eksekutif CWTC-IBSI )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar